Selasa, 26 November 2024

Restorative Justice Hasilkan Perdamaian, PPWI Cabut Gugatan Prapid terhadap Kapolri


Jakarta,- ketikterkini.com - Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) akhirnya mencabut gugatan Pra-peradilan (Prapid) terhadap Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dalam kasus dugaan kesalahan prosedur penetapan tersangka dan penahanan atas diri wartawati Indragiri Hilir, Rosmely, oleh Kapolres Inhil beberapa waktu lalu. Pencabutan gugatan Prapid tersebut dilakukan dalam sidang hari pertama yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 25 November 2024.


Hal itu disampaikan Penasehat Hukum PPWI, Advokat Ujang Kosasih, S.H., kepada media ini usai menghadiri sidang Prapid yang dilaksanakan di Ruang Dr. Mr. Kusumah Atmaja, PN Jaksel.


“Berdasarkan pertimbangan bahwa telah terjadi proses perdamaian antara pelapor Saruji dengan klien kami, Rosmely, melalui restorative justice beberapa waktu lalu, maka Tim PH dan klien kami, Rosmely, yang didukung oleh jajaran pengurus pusat PPWI, pada sidang hari pertama tadi, kami nyatakan mencabut gugatan Prapid terhadap Kapolri, Kapolda Riau, dan Kapolres Inhil, yang kami daftarkan pada tanggal 01 November 2024 lalu,” jelas advokat senior kelahiran Banten itu sambil menambahkan bahwa sudah tidak ada alasan signifikan untuk melanjutkan gugatan Prapid tersebut.


Di samping Advokat Ujang Kosasih, S.H., hadir juga rekan sesama PH PPWI, Advokat H. Alfan Sari, S.H., M.H., M.M.; Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA; serta beberapa pengurus dan anggota PPWI. Selain itu, terlihat hadir di ruang sidang wartawan Rosmely yang tidak lain adalah Ketua DPC PPWI Inhil yang menjadi korban kriminalisasi dedengkot pungli Saruji bersama delapan organisasi pers pelacur jurnalisme di Inhil dan diaminkan oleh oknum Kasatreskrim Polres di daerah tersebut.


Sementara itu pihak Tergugat I, Kapolri; Tergugat II, Kapolda Riau; dan Tergugat III, Kapolres Inhil, mengirimkan masing-masing 3 (tiga) orang personil anggota Polri dari unitnya masing-masing, hadir mewakili pimpinannya untuk menghadapi gugatan dari PH PPWI. Total perwakilan tergugat adalah 9 (sembilan) personil polisi.


Usai hakim tunggal yang mengadili perkara tersebut membuka persidangan, selanjutnya dilakukan proses verifikasi dan validasi identitas dari masing-masing perwakilan, baik dari pihak PH PPWI sebagai penggungat Prapid maupun dari jajaran perwakilan tergugat.



Dalam persidangan ini, ternyata personil polisi dari unit Divisi Hukum Polri yang ditugaskan mewakili Kapolri belum mengantongi Surat Kuasa dari Kapolri sebagai Tergugat I.


Walaupun sedianya persidangan perlu ditunda hingga para perwakilan tergugat dapat hadir dengan mengantongi surat kuasa dari prinsipalnya (kliennya), namun persidangan tetap dilanjutkan untuk mendengarkan pernyataan dari pihak penggunggat Prapid.


Perwakilan penggunggat, Advokat Ujang Kosasih selanjutnya menyampaikan bahwa melalui persidangan ini, pihak penggunggat Prapid mencabut gugatannya dengan pertimbangan kliennya Rosmely telah dibebaskan oleh Polres Indragiri Hilir melalui mekanisme restorative justice.


Pernyataan pencabutan gugatan Prapid ini disambut baik dan disetujui oleh para tergugat dengan penuh gembira dan sukacita. Hal itu terlihat dari senyum semringah dan raut wajah yang tiba-tiba berubah cerah dari sebelumnya yang tampak kusam dan penuh beban sejak masuk ke dalam ruang sidang.


Setelah membacakan hasil persidangan yang pada intinya penggunggat Prapid telah mencabut gugatannya dan pengadilan memutuskan menerima pencabutan gugatan, hakim tunggal atas perkara nomor: 112/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel mengetuk palu sebagai penanda persidangan selesai. Para pihak, penggunggat dan tergugat, selanjutnya bersalam-salaman satu sama lainnya dengan penuh keakraban dan persahabatan.



Dalam konferensi pers yang dilakukan di halaman PN Jakarta Selatan, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke, mengatakan bahwa persidangan Prapid ini dimaksudkan untuk menjadi pembelajaran bersama, baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat banyak.


“Kita perlu terus membenahi penerapan peraturan dengan benar sesuai koridor hukum yang dibuat oleh negara ini, tidak sewenang-wenang atau sesuai kehendak pihak tertentu. Oleh karena itu maka setiap warga negara harus selalu kritis dan berani mengkritisi penerapan hukum yang tidak benar, jika perlu melalui jalur Praperadilan,” terang alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu sambil menambahkan bahwa Prapid hari ini adalah salah satu contoh bagi masyarakat Indonesia dalam melakukan koreksi dan perbaikan terhadap penegakan hukum di negara yang kita cintai ini.


Pada kesempatan yang sama, Rosmely menyampaikan harapan agar peristiwa yang dialaminya, terutama terkait proses Praperadilan hari ini hendaknya menjadi pelajaran bagi masyarakat Riau, khususnya Indragiri Hilir, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.


“Saya berharap ke depan tidak ada lagi Mely-Mely berikutnya yang harus mengalami nasib dikriminalisasi oleh oknum-oknum tertentu. Oleh karena itu, marilah kita bekerja, melaksanakan tugas masing-masing dengan baik dan benar sesuai peraturan hukum yang berlaku,” ujarnya berharap. (TIM/Red).

Selasa, 08 Oktober 2024

Dinilai Tak Beretika, Oknum Polisi Polda Metro Jaya Masuk Kamar Ketum PPWI Tanpa Izin


Jakarta,- ketikterkini.com - Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, melaporkan tindakan lima anggota polisi dari Polda Metro Jaya yang dianggap tidak beretika, berperilaku tidak sopan dan mencederai privasinya. Kejadian ini bermula ketika para anggota polisi tersebut menyambangi rumah Wilson Lalengke di bilangan Slip-29, Jakarta Barat, pada Senin pagi, 7 Oktober 2024, sekitar pukul 06.30 WIB.


Menurut keterangan Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, para polisi itu datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Wilson Lalengke, yang baru bangun tidur, mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu untuk berdiskusi. Para polisi itu menyampaikan bahwa kedatangan mereka bertujuan meminta klarifikasi terkait sebuah video yang diunggah tokoh pers nasional ini di channel YouTube miliknya, ‘Wilson Lalengke Official’, yang menyinggung adanya dugaan jual-beli pangkat di lingkungan Polri.


Saat Wilson Lalengke meminta surat tugas, salah satu anggota polisi menunjukkan surat dari pimpinannya dengan logo Polda Metro Jaya. Namun, peristiwa tak menyenangkan terjadi ketika ia hendak mengambil kacamata di kamar tidurnya. Seorang anggota polisi berbadan gemuk dengan pakaian kaos lengan panjang hitam keabuan, tanpa izin, mengikuti wartawan senior itu ke dalam kamar tidur dan membuka pintu kamar.


Wilson Lalengke yang terkejut dengan tindakan tersebut langsung menyuruh polisi yang tidak bermoral itu keluar sambil marah-marah. Istri mantan trainer jurnalistik warga bagi ribuan anggota TNI/Polri yang sedang menyiapkan kopi di dapur mendengar suara keributan tersebut. Wilson Lalengke kemudian menggiring polisi yang dianggapnya tidak sopan itu kembali ke ruang tamu sambil menegur perilakunya di hadapan rekan-rekan sesama anggota.


Setelah kejadian tersebut, sekitar 15-20 menit kemudian, datang seorang yang diduga pimpinan dari para anggota polisi ini. Sang pimpinan menjelaskan bahwa tujuan mereka adalah untuk bersilaturahmi sambil menikmati kopi yang disediakan oleh istri Wilson Lalngke. Namun, jebolan pasca sarjana bidang Etika Terapan dari Universitas Utrecht, Belanda, dan Universitas Linkoping, Swedia, ini menyatakan bahwa perilaku salah satu anggotanya sangat mencederai privasi dan mencerminkan kurangnya etika dan sopan-santun dalam bertugas.


Atas kejadian tersebut, Wilson Lalengke telah mengajukan pengaduan resmi dengan nomor registrasi 11241008000006 ke Divpropam Mabes Polri. Aduan tersebut saat ini sedang dalam proses menunggu konfirmasi oleh Bagyanduan Divpropam. Ketum PPWI itu berharap agar tindakan tegas diambil terhadap oknum polisi yang telah melecehkan privasi keluarganya sesuai peraturan internal Polri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini.


Rangkaian kronologi peristiwa tersebut di atas disampaikan oleh Wilson Lalengke pada hari Selasa, 8 Oktober 2024, di Jakarta. Kejadian ini mengundang perhatian publik dan diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi aparat kepolisian untuk menjaga etika dan sopan-santun dalam bertugas. (TIM/Red)

Rabu, 18 September 2024

*Balada Residivis Narkotika di Parlemen*


Oleh: Wilson Lalengke_


Jakarta,- Ketikterkini.com | Ini sebuah ironi yang menyedihkan. Indonesia kini dihadapkan pada kenyataan pahit ketika mantan residivis kasus narkotika menduduki posisi penting sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi periode 2024-2029. Bahkan yang bersangkutan terpilih menjabat sebagai Ketua DPRD. Pertanyaan mendasar pun muncul: masihkah lembaga parlemen memiliki kehormatan dan harga diri?


Keberadaan mantan narapidana di kursi legislatif bukanlah fenomena baru. Namun, dengan terpilihnya individu yang pernah terjerat kasus narkotika secara berulang, kita harus mempertanyakan integritas dan moralitas lembaga yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan rakyat. DPRD, sebagai representasi suara masyarakat, seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki rekam jejak bersih dan mampu memberikan teladan yang baik.


Penting untuk dicatat bahwa jabatan publik, terutama di lembaga legislatif, memerlukan kepercayaan masyarakat. Ketika individu dengan latar belakang kriminal mendapatkan posisi strategis, hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga merusak citra lembaga itu sendiri.


Kenyataan ini tidak hanya terbatas pada kasus DPRD. Jabatan-jabatan strategis lainnya, seperti gubernur, bupati, dan walikota, juga sering kali diisi oleh para mantan koruptor, pelaku kejahatan berat, bahkan mereka yang terlibat dalam praktik illegal seperti penambangan dan penebangan kayu. Hal ini merupakan gambaran suram mengenai kualitas dan integritas pemimpin yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.


Apakah kita bisa percaya kepada para pemimpin semacam ini untuk membawa perubahan positif? Mereka yang pernah melanggar hukum dan mengkhianati kepercayaan publik sering kali hanya memikirkan kepentingan pribadi, bukan kesejahteraan masyarakat yang mereka pimpin.


Dampak dari keberadaan para mantan narapidana pelaku kejahatan di posisi strategis sangat merugikan masyarakat. Keputusan-keputusan yang diambil hampir pasti akan mencerminkan kepentingan kelompok tertentu daripada kebutuhan rakyat. Akibatnya, proyek-proyek yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup masyarakat sering kali terabaikan atau malah dijadikan ajang korupsi.


Masuknya orang-orang yang nihil ahlak semacam itu menjadikan berbagai jabatan yang didudukinya kehilangan nilai moral dan kemuliaan. Mungkin kita harus sepakat atas pernyataan Rocky Gerung bahwa "jabatan-jabatan itu tidak punya perasaan dan harga diri", sehingga iblis pun boleh duduk di singgasana itu dan dibayar hidupnya oleh rakyat. Ini suatu realitas pahit yang terpaksa harus ditelan oleh bangsa dungu ini.


Namun, tentu saja kita tidak boleh hanya berkeluh-kesah dan mengumpat. Dengan kondisi yang ada, penting untuk melakukan reformasi dalam sistem pemilihan umum dan kriteria calon legislatif.


Masyarakat harus lebih cerdas dan proaktif dalam memilih pemimpin yang memiliki integritas dan rekam jejak yang baik. Selain itu, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap calon-calon yang mendaftar untuk posisi publik, termasuk pemeriksaan latar belakang yang lebih menyeluruh. Partai politik berperan penting dalam melakukan perbaikan.


Situasi ini menuntut kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang kita junjung tinggi sebagai bangsa. Jika lembaga-lembaga publik diisi oleh mereka yang tidak memiliki integritas, maka masa depan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat akan terancam.


Keterpilihan mantan residivis dan pelaku kejahatan di posisi strategis adalah sebuah panggilan untuk bangkit dan berjuang demi perubahan yang lebih baik. Kita harus lebih awas dan ktitis, memastikan lembaga-lembaga publik benar-benar berfungsi untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi para pelanggarnya. (*)


_Penulis adalah alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012_

Kamis, 22 Agustus 2024

Baleg DPR “ Membegal” Konstitusi Oleh : Dr. Luthfi Yasid , SH, LLM


Jakarta,- ketikterkini.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI “kesambet”. Ia tetiba membegal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60/PUU-XXII/2024 terkait Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah yang memungkinkan partai yang tidak punya kursi di DPRD dapat mencalonkan Kepala Daerah. Putusan MK No. 60 yang “mencerahkan demokrasi” ini justru mau dianulir oleh Baleg DPR RI.


Jelas sekali, Rapat Baleg DPR RI (21-22 Agustus 2024) yang akan membegal putusan MK No 60/2024, yang final and binding itu, serampangan, ugal-ugalan dan barbar.


Betapa tidak! MK satu-satunya lembaga hukum yang berwenang mutlak mengadili konflik konstitusi, justru keputusannya mau dianulir oleh DPR. Jika hal itu terjadi, jelas akan terjadi krisis konstitusi yang amat parah dan membahayakan negara.


Lalu, kenapa Baleg DPR berusaha menganulir putusan MK yang final and binding? Alasannya bisa ditebak.


Pertama, motif utama Baleg DPR RI adalah materi dan kekuasaan. Sebab dengan adanya putusan MK No. 60 tersebut, maka kartel partai politik untuk kepentingan Pilkada telah diamputasi oleh MK.


Kedua, selama ini untuk menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota maka sang calon harus membayar upeti dan mahar kepada partai politik dengan jumlah yang sangat besar. Dengan adanya putusan MK No. 60, peran partai politik dalam urusan Pilkada diminimalisir.


Ketiga, putusan MK adalah sejajar dengan UU dan sifatnya final and binding. Karenanya harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesaat setelah keputusan itu diketok. Oleh karena itu, keputusan tersebut tidak dapat dianulir, bahkan oleh MK sendiri.


Dengan demikian, upaya busuk yang dilakukan oleh Baleg DPR RI untuk membahas revisi UU Pilkada serta upaya untuk mengambil keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU, harus dihentikan.


Keempat, apa yang dilakukan oleh Baleg DPR RI hanyalah puncak gunung es dari carut-marutnya persoalan bangsa terutama dalam satu dasawarsa ini. Hal ini bukan saja mencederai nilai demokrasi, tapi juga inkonstitusional. Apa yang dilakukan Baleg DPR adalah tindakan pembusukan total (total decayed) atas prinsip negara hukum. Upaya yang dilakukan oleh Baleg DPR RI adalah sebuah anarkisme hukum (legal anarchism) yang berdampak jangka panjang dan mengancam demokrasi di tanah air.


Pemerintah Orde Lama, di bawah Presiden Sukarno pernah membubarkan DPR (Konstituante) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dan Konstituante benar-benar lenyap di jaman itu. Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001, tapi sayang, dekrit Gus Dur tidak memiliki power of force, sehingga parlemen saat itu tetap bercokol dan berkuasa. Dua Presiden RI yang karismatik itu berhadapan vis a vis dengan DPR. Karena sikap DPR yang kekanak-kanakan dan ngawur. Sementara Presiden Jokowi saat ini justeru berangkulan dan berkolusi dengan DPR. Suatu perbedaan yang sangat mencolok!


Menghadapi kondisi tersebut di atas, semua elemen masyarakat, tidak ada jalan lain kecuali membangun kesadaran kolektif untuk menata kembali demokrasi demi menjaga mandat konstitusional dan marwah bangsa guna mewujudkan negara hukum yang berkeadilan. Semua elemen masyarakat — kelompok sipil, cendekiawan, advokat, buruh, petani, mahasiswa dan lainnya harus peduli dan bersuara demi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.


Perjuangan menegakkan cita-cita negara hukum yang berkeadilan, kini saatnya harus digaungkan dan dilaksanakan serius. Kalau tidak, kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka, berdaulat, menjunjung hukum, dan berkeadilan akan tenggelam.


Kebusukan, keculasan, dan kesewenang-wenangan yang dilakukan rejim baik yang dipertontonkan maupun yang tersembunyi sudah seharusya kita perangi bersama. Kita harus menularkan keberanian itu kepada semua elemen masyarakat dan rakyat. Kita harus menegakkan justitia omnibus. Atau justice for all. Kadilan untuk semua. ( * )


Penulis : Ketua Umum Dewan Penggerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Alumnus Warwick University. UK/Dosen Tamu di Gakushuin.

Universiry. Tokyo.


Baleg DPR "Membegal" Konstitusi Oleh: Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM


Jakarta,- ketikterkini.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI “kesambet”. Ia tetiba membegal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60/PUU-XXII/2024 terkait Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah yang memungkinkan partai yang tidak punya kursi di DPRD dapat mencalonkan Kepala Daerah. Putusan MK No. 60 yang “mencerahkan demokrasi” ini justru mau dianulir oleh Baleg DPR RI.

Jelas sekali, Rapat Baleg DPR RI (21-22 Agustus 2024) yang akan membegal putusan MK No 60/2024, yang final and binding itu, serampangan, ugal-ugalan dan barbar.

Betapa tidak! MK satu-satunya lembaga hukum yang berwenang mutlak mengadili konflik konstitusi, justru keputusannya mau dianulir oleh DPR. Jika hal itu terjadi, jelas akan terjadi krisis konstitusi yang amat parah dan membahayakan negara.

Lalu, kenapa Baleg DPR berusaha menganulir putusan MK yang final and binding? Alasannya bisa ditebak.

Pertama, motif utama Baleg DPR RI adalah materi dan kekuasaan. Sebab dengan adanya putusan MK No. 60 tersebut, maka kartel partai politik untuk kepentingan Pilkada telah diamputasi oleh MK.

Kedua, selama ini untuk menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota maka sang calon harus membayar upeti dan mahar kepada partai politik dengan jumlah yang sangat besar. Dengan adanya putusan MK No. 60, peran partai politik dalam urusan Pilkada diminimalisir.

Ketiga, putusan MK adalah sejajar dengan UU dan sifatnya final and binding. Karenanya harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesaat setelah keputusan itu diketok. Oleh karena itu, keputusan tersebut tidak dapat dianulir, bahkan oleh MK sendiri.

Dengan demikian, upaya busuk yang dilakukan oleh Baleg DPR RI untuk membahas revisi UU Pilkada serta upaya untuk mengambil keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU, harus dihentikan.

Keempat, apa yang dilakukan oleh Baleg DPR RI hanyalah puncak gunung es dari carut-marutnya persoalan bangsa terutama dalam satu dasawarsa ini. Hal ini bukan saja mencederai nilai demokrasi, tapi juga inkonstitusional. Apa yang dilakukan Baleg DPR adalah tindakan pembusukan total (total decayed) atas prinsip negara hukum. Upaya yang dilakukan oleh Baleg DPR RI adalah sebuah anarkisme hukum (legal anarchism) yang berdampak jangka panjang dan mengancam demokrasi di tanah air.

Pemerintah Orde Lama, di bawah Presiden Sukarno pernah membubarkan DPR (Konstituante) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dan Konstituante benar-benar lenyap di jaman itu. Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001, tapi sayang, dekrit Gus Dur tidak memiliki power of force, sehingga parlemen saat itu tetap bercokol dan berkuasa. Dua Presiden RI yang karismatik itu berhadapan vis a vis dengan DPR. Karena sikap DPR yang kekanak-kanakan dan ngawur. Sementara Presiden Jokowi saat ini justeru berangkulan dan berkolusi dengan DPR. Suatu perbedaan yang sangat mencolok!

Menghadapi kondisi tersebut di atas, semua elemen masyarakat, tidak ada jalan lain kecuali membangun kesadaran kolektif untuk menata kembali demokrasi demi menjaga mandat konstitusional dan marwah bangsa guna mewujudkan negara hukum yang berkeadilan. Semua elemen masyarakat — kelompok sipil, cendekiawan, advokat, buruh, petani, mahasiswa dan lainnya harus peduli dan bersuara demi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.

Perjuangan menegakkan cita-cita negara hukum yang berkeadilan, kini saatnya harus digaungkan dan dilaksanakan serius. Kalau tidak, kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka, berdaulat, menjunjung hukum, dan berkeadilan akan tenggelam.

Kebusukan, keculasan, dan kesewenang-wenangan yang dilakukan rejim baik yang dipertontonkan maupun yang tersembunyi sudah seharusya kita perangi bersama. Kita harus menularkan keberanian itu kepada semua elemen masyarakat dan rakyat. Kita harus menegakkan justitia omnibus. Atau justice for all. Kadilan untuk semua. ( * )

Penulis : Ketua Umum Dewan Penggerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Alumnus Warwick University. UK/Dosen Tamu di Gakushuin.
Universiry. Tokyo.

Jumat, 28 Juni 2024

Maroko dan Jerman Sepakat Perkuat Kerja Sama Keamanan Regional dan Internasional


RABAT,- ketikterkini.com - Direktur Jenderal Keamanan Nasional dan Pengawasan Teritorial, Abdellatif Hammouchi, melakukan kunjungan kerja ke Republik Federal Jerman pada tanggal 24-26 Juni. Selama berada di Jerman, Hammouchi mengadakan pembicaraan dengan pejabat dari Kepolisian Federal Jerman (Bundespolizei) dan Kantor Polisi Kriminal Federal tentang program memperkuat kerja sama keamanan bilateral.


Dalam kunjungan yang berlangsung atas undangan resmi pihak Jerman tersebut, Hammouchi mengadakan sesi pertemuan resmi dengan Presiden Bundespolizei, Dieter Roman, Kepala Kantor Polisi Kriminal Federal, Holger Münch, serta pejabat keamanan Jerman lainnya yang berspesialisasi dalam kontra-terorisme dan keamanan kegiatan olahraga. Demikian disampaikan pihak kata Direktorat Jenderal Keamanan Nasional dan Pengawasan Teritorial dalam siaran persnya.


Diskusi terfokus khususnya pada cara-cara memperkuat kerja sama bilateral, terutama dalam memerangi terorisme dan kejahatan lintas batas terorganisir, serta keamanan acara olahraga besar, kata sumber yang sama menambahkan.


Hammouchi dan rekan-rekannya dari Jerman juga meninjau kondisi kerja sama kepolisian mereka, serta tantangan keamanan regional dan internasional. Dirjen Keamanan Nasional dan Pengawasan Teritorial beserta delegasi yang mendampingi mengunjungi German Joint Counter-Terrorism Center di Berlin, dimana mereka diberikan pengarahan mengenai mekanisme kerja fasilitas ini dalam hal koordinasi antara berbagai aparat keamanan Jerman, dan prospek kerjasama dengan dinas keamanan Maroko dalam memerangi ancaman teroris pada dimensi lintas batas.


Kunjungan tersebut juga merupakan kesempatan untuk mengkaji peluang kerja sama antara Maroko dan Jerman di bidang keamanan olahraga, dan mekanisme pertukaran keahlian dan bantuan teknis antara kedua pihak dalam mengamankan acara-acara besar, tambah siaran pers tersebut.


Pada kesempatan ini, kepada Hammouchi dipaparkan segala hal tentang pengaturan keamanan dan standar keselamatan serta perlindungan yang diterapkan oleh kepolisian Berlin untuk mengamankan Piala UEFA, yang saat ini diselenggarakan oleh Republik Federal Jerman.


Untuk memperkuat kerja sama di bidang ini, delegasi keamanan tingkat tinggi Maroko yang dipimpin oleh Mr. Hammouchi melakukan kunjungan lapangan bersama Kepala Polisi Kriminal Federal ke fasilitas dan peralatan di Stadion Olimpiade Berlin, yang menjadi tuan rumah pertandingan Euro 2024. Selain itu, delegasi juga meninjau pusat manajemen operasi polisi yang mengawasi protokol keselamatan dan keamanan selama acara sepak bola.


Kunjungan ini merupakan bagian dari persiapan lanjutan Dinas Keamanan Maroko untuk menjadi tuan rumah acara olahraga dan keamanan global dan kontinental, dimulai dengan Sidang Umum Interpol ke-93, yang dijadwalkan tahun depan di Marrakesh. Selanjutnya akan diselenggarakan Piala Afrika 2025 dan terakhir Piala Dunia 2030 yang akan diselenggarakan bersama Spanyol dan Portugal.


Kunjungan resmi ini membuktikan pentingnya kerja sama keamanan bilateral antara Kerajaan Maroko dan Republik Federal Jerman, mengingat banyaknya bidang keamanan yang menjadi kepentingan bersama. Hal tersebut juga mencerminkan komitmen kuat Direktorat Jenderal Keamanan Nasional dan Pengawasan Teritorial terhadap upaya internasional untuk menetralisir resiko dan ancaman terhadap keamanan regional dan internasional kedua negara, demikian kesimpulan siaran pers tersebut. (PERSISMA/Red).

© Copyright 2022 KETIK TERKINI | All Right Reserved